Persimpangan
“Ibuk sudah biasa sendiri”
itu yang kau katakan setelah kalimat kesekian yang kulontarkan.
Untung saja air mataku telah usai ku-muarakan dan ku-uapkan satu ketika saat pertama kalinya kau bilang akan pindah ke satu tempat–dan hanya kembali sekali seminggu saja
Aku tak tau lagi harus bagaimana. Hal seperti ini telah pernah aku eja dalam otakku tapi aku tak menyangka secepat ini.
Aku yang seringkali memikirkan masa depanmu–dan memantapkan untuk merawatmu dan tak menikah, terlebih karena mungkin aku lebih suka menjadi wanita karir dan menjadi manusia yang memiliki pikiran liar. Karena memang begitulah Sosiolog, aku mencintai ilmu yang aku dapatkan, ia membuatku mengerti kehidupan yang terlampau sudah tidak manusiawi ini tetapi sekaligus membuatku gila.
Meskipun entah beberapa orang kerap mengatakan banyak hal. Tentang sikap dan cara pikirku yang berubah terutama menyangkut urusan Tuhan dan Agama. Buk aku akan selalu ingat pesanmu: Tak akan sedikitpun aku tak mempercayai Tuhan. Buk, aku bahkan sangat merindukannya dengan caraku. Aku selalu percaya Dia memang ada, Meski berkali-kali ketika aku mengeja kehidupan orang-orang lain, orang-orang malang, bangsa Afrika, anak-anak di daerah peperangan, aku tak mengerti dan ingin menyalahkanNya namun di satu sisi aku teramat mensyukuri hidupku.
Buk, andai kau tau ketika kalimat sudah biasa itu terlontar dari lisanmu, aku benar-benar kebingungan dan perih. Disatu sisi, ini seolah adalah tamparan bagiku yang tak bisa menemani dan menghiburmu di tengah kesendirianmu di masa tua, di tengah dirimu yang lebih senang bekerja untuk membunuh kesendirian waktu. Aku sungguh bangga padamu yang dengan setulus hati menolong yang membutuhkan.
Buk, MAAF. Mungkin suatu saat ketika kau sudah tak ada, aku akan menjadi orang lain dan melepaskan segala sesuatunya. Buk, aku ingin jalan.
Buk, akhir-akhir ini aku sering menangis karena memikirkan dunia. Jadi, ijinkan aku suatu saat untuk memaknai dunia dengan caraku.